Jejak Pertama Di Tengah Senyap
Masa itu, dunia seperti dihentikan oleh sesuatu yang tak kasat mata. Pandemi COVID-19 mengubah segalanya, termasuk caraku melangkah ke jenjang baru dalam hidup SMA. Aku ingat betul perasaan gugup sekaligus antusias yang membuncah saat menyadari aku telah resmi menjadi murid SMA. Namun, bukan langkah ke gerbang sekolah yang menyambutku, melainkan layar laptop yang dingin dan sunyi.
Kelas 10 dimulai dengan belajar daring, sebuah pengalaman yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Hari pertama, aku duduk di meja belajar kecil di kamarku, menatap wajah-wajah asing di layar. Semua tampak canggung, termasuk aku. Nama-nama terpampang di pojok video, tapi sulit untuk benar-benar mengingat siapa mereka. Aku bertanya-tanya, apakah aku akan berteman dengan mereka, atau malah merasa terasing di dunia yang serba virtual ini?
Aku mencoba menjalani semuanya dengan sepenuh hati. Meski kadang kebingungan, aku berusaha mengikuti ritme belajar yang baru ini. Bangun pagi, memastikan koneksi internet stabil, dan menyiapkan buku pelajaran di meja. Namun, ada kekosongan yang tak bisa kujelaskan. Rasanya aneh belajar tanpa suara riuh kelas, tanpa meja yang penuh coretan, dan tanpa tatapan langsung dari guru.
Seiring waktu, sekolah mulai memberlakukan sesi hybrid. Kelas dibagi menjadi dua kelompok sebagian belajar di rumah, sebagian lagi di sekolah. Ketika tiba giliranku untuk hadir secara langsung, aku merasa seperti masuk ke dunia baru. Berjalan ke kelas dengan masker yang menutupi setengah wajah, aku menyadari betapa sulitnya mengenali teman-teman. Wajah-wajah mereka hanya sebatas mata dan alis, namun itu sudah cukup untuk memberiku sedikit rasa lega.
Hari itu, aku berkenalan dengan seseorang yang kini menjadi sahabatku. Namanya sederhana, namun kehadirannya begitu berarti. Dia adalah orang pertama yang menyapaku di lorong sekolah yang sepi. Obrolan kecil tentang sang idola menjadi awal dari persahabatan yang hangat. Selama tiga tahun, dia duduk di sampingku, menjadi pendengar setia dan teman terbaik.
Masa-masa belajar di tengah pandemi penuh dengan kenangan unik. Aku masih ingat bagaimana kita semua diwajibkan vaksin sebelum kembali ke sekolah. Antrean panjang di sebuah gedung, rasa cemas menunggu giliran, hingga senyum kecil di balik masker setelah selesai. Ada juga momen ketika aku sering lupa wajah teman-teman karena terlalu terbiasa melihat mereka dengan masker. Kadang, saat mereka melepasnya, aku bahkan tak yakin sedang berbicara dengan siapa.
Meski kelas 10 belum dipenuhi banyak cerita besar, aku bersyukur berada di tengah kelas yang ceria. Walau pandemi membuat segalanya terasa sulit, ada tawa dan kehangatan yang tercipta. Teman-teman sekelas sering menghidupkan suasana dengan candaan ringan, meski hanya lewat ruang virtual. Itu adalah hal kecil yang membuatku tetap merasa terhubung, meski dunia di luar terasa begitu jauh.
Kini, saat mengenang masa-masa itu, aku sadar betapa berharganya setiap momen yang pernah kulewati. Pandemi mungkin membatasi banyak hal, tapi ia juga mengajarkanku arti ketangguhan dan rasa syukur. SMA adalah babak baru yang dimulai dengan cara tak biasa, tapi justru itulah yang membuatnya begitu berkesan.
Komentar
Posting Komentar