Di Antara Puing dan Harapan
Masa SMP-ku adalah babak cerita yang penuh warna. Di sinilah aku pertama kali merasa benar-benar dilihat dan dihargai. Teman-teman yang aku temui seperti cermin yang memantulkan sisi terbaik dari diriku—sisi yang sebelumnya tersembunyi. Mereka membuatku percaya bahwa aku memiliki kemampuan untuk bersinar, dan aku pun mulai menonjolkan bakat-bakatku. Tidak ada yang lebih membanggakan daripada mengenali potensiku sendiri sambil dikelilingi oleh orang-orang yang mendukung.
Akhirnya, perjalanan di SMP itu mencapai ujungnya. Aku lulus dengan hasil yang sangat memuaskan, tetapi momen bahagia itu direnggut oleh kenyataan pahit. Dunia sedang dilanda pandemi COVID-19. Tidak ada pesta perpisahan, tidak ada pelukan hangat dari teman-teman yang selama tiga tahun terakhir menjadi bagian dari hidupku. Kelulusan yang seharusnya menjadi penutup yang manis berubah menjadi keheningan yang hampa.
Pandemi itu tidak hanya membawa kehampaan, tetapi juga badai yang mengguncang segalanya. Tahun 2020 menjadi saksi runtuhnya banyak hal, termasuk keluargaku. Awalnya, kami mencoba bertahan, saling menguatkan, tetapi cobaan demi cobaan terus menghantam. Mulai dari masalah kecil yang tidak kunjung selesai, hingga masalah besar yang mengoyak keharmonisan kami.
Salah satu kejadian yang masih membekas di hatiku adalah penghianatan dari seseorang yang aku percayai sepenuh hati. Penghianatan itu tidak hanya menyakitkan, tetapi juga menghancurkan pilar terakhir yang menopang keluarga kami. Ketika semua orang sedang berjuang mencari nafkah di tengah situasi yang sulit, orang itu justru mengambil satu-satunya sumber penghidupan kami. Aku tidak pernah membayangkan bahwa seseorang yang begitu dekat denganku bisa bertindak seperti itu. Luka yang ditinggalkannya masih terasa hingga sekarang, dan aku merasa sulit untuk kembali mempercayai orang lain, bahkan mereka yang tulus mencintaiku.
Kehilangan itu membuat keluargaku terpecah. Kami sering kali terjebak dalam perselisihan dan kesalahpahaman. Aku, yang biasanya menjadi penengah, merasa terlalu lemah untuk mengatasi semuanya. Ada hari-hari di mana aku hanya ingin menghilang, berharap rasa sakit ini akan lenyap bersama waktu. Depresi menjadi teman yang tidak diundang, menghantui setiap langkahku.
Namun, di tengah kehancuran itu, aku menemukan sesuatu yang berharga kekuatan dalam diriku sendiri. Aku belajar untuk menghadapi luka, bukan lari darinya. Aku belajar bahwa air mata bukanlah tanda kelemahan, melainkan proses penyembuhan. Setiap malam, aku menuangkan perasaanku ke dalam tulisan. Kata-kata menjadi tempatku berlindung, dan dari sana aku perlahan bangkit.
Tahun itu adalah tahun penuh pembelajaran. Aku belajar arti ketabahan, arti memaafkan, meskipun sulit, dan arti mencintai diri sendiri. Pandemi mungkin telah menghancurkan banyak hal, tetapi dari puing-puing itu, aku mulai membangun kembali diriku. Aku tahu perjalanan ini belum selesai, tetapi aku percaya bahwa luka-luka ini adalah bagian dari cerita yang akan membentuk masa depanku.
Komentar
Posting Komentar